Kunjungan dan Pertemuan Grand Syekh Al-Azhar pada tahun 2018, “Pendekatan Humanistik dan Pesan Universal”



Pertemuan dan kunjungan eksternal Imam Besar Dr. Ahmed Al-Tayeb, Syekh Al-Azhar pada 2018 mencerminkan pengaruh dan meningkatnya peran lembaga Islam terbesar di dunia ini.

Di bawah payung manhaj moderasinya yaitu moderat untuk penerimaan dan penghormatan universal dan juga upaya-upaya aktifnya dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi, dialog dan  perdamaian di antara semua orang dari semua agama dan budaya yang berdasarkan pada pendekatan kemanusiaan Al-Azhar dan pesan universalnya, ia berusaha membangun jembatan komunikasi dan dialog sebagai alternatif dari sekat-sekat yang menghalangi. Oleh karena itu ia menetapkan kebijakan untuk menjelajah benua-benua dunia dan negaranya di Timur dan Barat untuk merealisasikan risalah yang dipegang Al-Azhar ini selama lebih dari seribu tahun.

Imam Besar memulai kunjungan luar negerinya yang pertama pada tahun 2018 pada 14 Maret, dari Ibukota Portugal, Lisbon atas undangan Presiden Portugal Marcelo Ribelo de Souza. Bersamaan dengan itu, Kementerian Luar Negeri Portugis menyambut baik kunjungan tersebut dengan mengeluarkan pernyataan resmi menyambut kunjungan tersebut, mereka menganggap bahwa Grand Syekh sebagai perwakilan tertinggi Islam Sunni yang memimpin estafet pembaruan di Al-Azhar dan selalu mendukung dialog di antara berbagai agama.



Syekh Al-Azhar memulai kegiatannya di Lisbon dengan mengunjungi markas Parlemen Portugal, di mana ia diterima oleh Eduardo Ferro Rodríguez, Presiden Parlemen Portugal, yang menegaskan bahwa kunjungannya ke negaranya mengirimkan pesan-pesan penting untuk membangun jembatan dialog dan koeksistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa parlemen Portugis selalu aktif mengikuti upaya-upaya Al-Azhar dalam menghadapi ideologi ekstremis dan mempromosikan dialog antara Timur dan Barat.

Seorang Pemimpin Agama yang Hebat

Setelah kunjungannya ke parlemen Portugis, Imam Besar pergi ke istana kepresidenan di Lisbon untuk bertemu dengan Presiden Portugal Profesor Marcelo Ribelo de Souza.  Profesor Marcelo Ribelo menegaskan bahwa dunia sangat bergantung pada suara kebijaksanaan dan moderasi yang diwakili oleh Al-Azhar dan juga ia amat menghargai upaya yang dilakukan oleh Syekh Al-Azhar untuk mengkonsolidasikan prinsip-prinsip dialog dan penerimaan yang lain. Di kesempatan tersebut dia mengutarakan keinginanya untuk juga mendapat manfaat dari keahlian Al-Azhar dalam mendukung nilai-nilai moderasi dan koeksistensi. Sementara itu Imam Besar mengatakan bahwa Al-Azhar siap untuk kerjasama lebih lanjut dengan Portugal dalam rangka melestarikan dan memperdalam keadaan perdamaian sosial yang menjadi ciri khasnya.

Di Universitas Katolik di Lisbon, Syekh Agung Al-Azhar ini menyampaikan ceramah yang berjudul "Pertanyaan seputar Nilai-Nilai Agama dan Krisis Masyarakat Kontemporer." Syekh memperingatkan bahwa Palestina hari ini menghadapi arogansi kekuasaan, suara penindas, kebijakan ketidakadilan dan pemindahan, dan bahwa dunia kontemporer sedang mengalami serangkaian krisis yang menyulitkan konflik dan polarisasi internasional. Di ceramah tersebut beliau juga sekaligus menyerukan panggilan agama untuk datang ke realitas manusia saat ini dan mengendalikan tindakan mereka dengan keseimbangan moral yang besar yang mampu menunaikan keadilan dan kesetaraan.

Grand Syekh Al-Azhar mengakhiri kunjungannya ke Portugal dengan memberikan pidato utama pada perayaan peringatan 50 tahun berdirinya Masyarakat Islam di Lisbon, di hadapan Presiden Portugal, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pejabat senior di Portugal. Dia menekankan bahwa Lisbon memiliki pengaruh besar dalam sejarah keilmuan, kesusastraaan, hukum dan kebudayaan umat Islam. Seraya menyerukan konsolidasi "Fikih Kewarganegaraan" di kalangan muslim di Eropa sebagai langkah yang diperlukan di jalur "Integrasi Positif," juga mengumumkan kebijakan pembukaan Departemen Bahasa dan Sastra Portugis di Universitas Al-Azhar. Menanggapi itu Presiden Portugal yang ia akan sampaikan pesan perdamaian dan pembukaan Departemen Bahasa dan Sastra Portugis ini kepada masyarakat Purtugal. Dan mengatakan bahwa Grand Syekh sebagai komandan besar agama yang selalu menyerukan toleransi dan perdamaian.

Di Negara Mauritania

Setelah kunjungannya ke Portugal, Syekh Al-Azhar menuju ke ibukota Mauritania, Nouakchott, bagian kedua dari kunjungan luar negerinya. Ia memulai dengan berbicara kepada Dewan Tertinggi untuk Fatwa. Di mana ia diterima oleh Menteri Urusan Islam Ahmed bin Daoud dan Syekh Mohammed Al-Mukhtar bin Imbalah yang menegaskan bahwa orang-orang Mauritania bangga dengan Azhar sebagai referensi mereka dan menyatakan aspirasinya untuk menjadi bagian dari  kunjungan ke Imam Besar dari rangkaian episode perlawanan Al-Azhar  melawan ideologi ekstremis dan menyebarkan moderasi Islam.


Sementara itu, Imam Besar memuji peran Mauritania dalam melestarikan warisan Islam dan Arab, yang menjadikannya salah satu mercusuar ilmiah terkemuka di dunia Islam, menunjukkan bahwa Al-Azhar menyaksikan kebangkitan warisan melalui kebangkitan cakrawala ilmiahnya.

Selanjutnya, ia mengunjungi markas radio channel Mahzerh dan radio Alquran Al-Karim. Kemudian diadakanlah sebuah simposium ilmiah dengan sarjana senior agama Mauritania, yang menganggap bahwa Al-Azhar Al-Sharif dan dosen dari Singkithi selalu mempertahankan turats umat Islam, dalam hafalan, periwayatan, syarah (penjelasan) atau ta’lik (komentar).  Dan bahwa yang terbaik yang dapat kami tawarkan kepada bangsa kami dalam krisisnya adalah memperdalam hubungan ilmiah antara para sarjana Al-Azhar dan para sarjana Singkithi.

Setelah itu Syekh Al-Azhar pergi  ke kursi kepresidenan, di mana dia disambut oleh Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz, yang memuji peran Al-Azhar dalam penyebaran Islam moderat dan usahanya dalam menghadapi ide-ide ekstremis, dan meluruskan pemahaman-pemahan agama yang keliru, dan juga menyambut baik usulan Grand Syekh untuk mendirikan pusat pemikiran Imam Asy'ari di Mauritania di bawah pengawasan Al-Azhar.

Di akhir kunjungannya ke Mauritania, ia menyaksikan protokol upaca penandatanganan kerjasama antara Universitas Al-Azhar dan Universitas Ilmu Islam Mauritania  dan protokol lainnya yaitu dengan Institut Tinggi Studi Islam dan Riset Penelitian.

Imam Besar di Indonesia

Kurang dari sebulan kemudian, Imam Besar dijadwalkan untuk kunjungan ke luar negeri kedua, kali ini ke Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia, Singapura dan Kesultanan Brunei. Kunjungan Syekh dimulai pada 18 April dari Jakarta, di mana ia bertemu Presiden Indonesia Joko Widodo, yang menekankan bahwa Al-Azhar mewakili pusat Timur Tengah di dunia Islam memainkan peran yang sangat penting dalam menghadapi kelompok-kelompok ekstremis, sekaligus menegaskan bahwa orang Indonesia percaya dan yakin kepada Al-Azhar dengan mengirim anak-anak mereka untuk belajar di Al-Azhar.

Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Yusuf Kalla saat itu mengadakan makan malam untuk menghormati Imam Besar dan delegasi yang menyertainya, di hadapan sejumlah pejabat senior Indonesia. Hari berikutnya, ia pergi ke Istana Presiden di Kota Bogor, berdekatan dengan Jakarta, untuk menyampaikan keyword speech dalam pembukaan pertemuan musyawarah internasional para cendekiawan dan intelektual tentang moderasi Islam.  Di hadapan Presiden Indonesia dan sejumlah tokoh agama terkemuka di dunia, dalam pidatonya beliau menekankan bahwa moderasi Islam adalah memastikan sikap  sikap yang menghargai keseimbangan, keragaman dan otoritas Islam yang dengan itu menjadi modal untuk menangkal bahaya ekstremisme dan intoleransi, atau bahaya dekonstruksi pokok-pokok ajaran Islam.

Kemudian, di pesawat Wakil Presiden Indonesia, Imam al-Akhr melakukan perjalanan ke Solo, di mana ia memimpin Konferensi Nasional Alumni Al-Azhar di Indonesia yang jumlahnya kini diperkirakan lebih dari 30.000 lulusan yang saat ini berkontribusi kuat pada kebangkitan negara. Dikesempatan tersebut Imam Besar mengumumkan untuk pembentukan unit khusus untuk berkomunikasi dengan lulusan Al-Azhar dari Indonesia.

Beliau juga mengadakan dialog terbuka dengan para profesor dan mahasiswa universitas Muhammadiyah di Solo, di mana dia menekankan bahwa dasar-dasar perdamaian dalam Al-Quran adalah penerimaan perbedaan dan kebebasan berkeyakinan dan saling mengenali atau ta’aruf. Prinsip-prinsip ini adalah rahasia dari kesinambungan Al-Azhar. Sekretaris Umum Muhammadiyah mengatakan bahwa lulusan Al-Azhar sangat berkontribusi pada pendidikan ilmu-ilmu Islam di universitas-universitas dan sekolah-sekolah.

Syekh Besar Al Azhar mengakhiri perjalanannya ke Solo dengan mengunjungi Pondok Pesantren Modern Putri. Di kesempatan tersebut ratusan meter siswa berderet menyambut kunjungan Grand Syekh. Dan juga terdapat sambutan pertunjukan dari siswi-siswi dengan yang menyanyikan lagu kebangsaan Republik Arab Mesir dalam bait lagunya “Mesir, Wahai sang Ibu Dunia, .. Engkau adalah maksud dan tujuan ku" Grand Syekh merasa terharu. Menanggapi hal itu Grand Syekh membalas sambutan indah itu dengan menyatakan bahwa beliau memegang hadiah dari Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, yaitu alokasi 30 beasiswa untuk belajar di Al-Azhar untuk siswi Pondok Modern Gontor.

Keramahan Singapura

Dari Indonesia, Syekh Al-Azhar berpindah ke Singapura yang merupakan bagian kedua dari perjalanannya. Di mana ia menerima sambutan yang luar biasa di sana. Pemerintah Singapura mendedikasikan misi kehormatan untuk menemani Imam Besar, Dipimpin oleh Dr. Mohammed Malki Othman, Menteri Senior Negara untuk Luar Negeri dan Pertahanan, Imam Besar memulai pertemuannya di Singapura dengan pertemuan Perdana Menteri Teo Chi Hin, yang menyelenggarakan perjamuan untuk menghormati Grand Imam dengan menegaskan bahwa alumni Al-Azhar secara aktif berkontribusi pada nilai-nilai toleransi dan koeksistensi di Singapura dan bahwa semua pemimpin agama Islam di Singapura adalah alumni Al-Azhar. Hal tersebut seiring dengan harapan negaranya untuk mendapatkan manfaat dari pengalaman Al-Azhar dalam menghadapi pemikiran-pemikiran radikal.

Pada hari kedua kunjungan, Imam Besar bertemu Presiden Republik Singapura Halima Yakub, yang menegaskan bahwa bangsanya memuliakan dan menghormati Al-Azhar Al-Sharif dan menyatakan harapannya untuk mendukung Al-Azhar Singapura dalam persiapan kurikulum Islam dan pelatihan para imamnya.

Imam Besar memberikan kuliah tahunan Dewan Islam Singapura, pada kesempatan peringatan 50 tahun pendiriannya, di mana ia menekankan perlunya integrasi positif umat Islam dalam masyarakat tempat mereka tinggal, dan untuk menjadi "saudara sesama umat manusia" adalah mata rantai yang menyatukan orang-orang dari berbagai agama dan budaya. Beliau juga mengunjungi Masjid Khadija, salah satu masjid tertua di Singapura, pusat bimbingan agama dan sekolah Islam Imam Al-Junaid. Grand Syekh kemudian menunaikan shalat Jumat yang diadakan di Masjid Sultan, masjid terbesar di Singapura, tempat ratusan orang berkumpul untuk menyambut dan menyambutnya.



Pemerintah Brunei di hadapan Imam

Pada persinggahan akhir dari kunjungannya di Asia Tenggara, Imam Besar pergi ke Brunei Darussalam di mana ia bertemu dengan Hassan al-Bolkiah, Sultan Brunei. Setelah pertemuan itu, Syekh mengumumkan bahwa mereka sepakat untuk mendirikan cabang Organisasi Internasional Alumni Al Azhar di Brunei diseertai kuota 30 beasiswa bagi siswa Brunei untuk belajar di Al-Azhar, di samping penunjukan Mufti Brunei sebagai anggota Dewan Cendekiawan Muslim. Saat memberikan sambutan, Sultan Brunei mengucapkan terima kasih kepada Al-Azhar Al-Sharif, seraya berseru kepada Allah untuk melestarikan Al-Azhar dan juga Sang Imam dan ia mengatakan bahwa ia Al-Azhar akan tetap terbuka untuk rakyat Brunei.

Pada hari kedua kunjungan, Imam Akbar menyampaikan ceramah tentang "Tantangan yang dihadapi negara Islam dalam menghadapi terorisme" di Pusat Konferensi Internasional, di hadapan semua menteri pemerintah dan pemimpin senior negara di Brunei. Bahwa kaum Muslim adalah korban pertama dari kelompok-kelompok teroris ini, dan bahwa perang dalam Islam adalah perkecualian yang terpaksa hanya dengan kebutuhan-kebutuhan terbaik. Imam Akbar mengakhiri kunjungannya ke Kesultanan Brunei, menginspeksi Sekolah Menengah Putri, mengunjungi museum kerajaan dan berkeliling sungai sembari mengunjungi peninggalan corak khas monumen Kesultanan Brunei dan banyak tempat wisata sejarah dan alamnya.
Syekh Al-Azhar di Windsor Castle

Pada tanggal 12 Juli, Imam Besar dalam agenda kunjungan luar negerinya yang ketiga pada tahun 2018, yang kali ini  terbatas di negara Inggris, dan diterima pada saat kedatangan di Bandara Heathrow oleh Dr. Stephen Wilby, Uskup Agung Canterbury. Imam Besar Al-Azhar membuka kunjungannnya dengan menziarahi Ratu Elizabeth II, Ratu Inggris, di Kastil Windsor yang bersejarah. Di mana Imam Besar mengatakan bahwa Al-Azhar membuka jendela dialog dengan semua orang untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai perdamaian dan koeksistensi, sedangkan Ratu Inggris bahwa dunia sangat bergantung pada pemimpin agama untuk mempromosikan perdamaian dunia.

Dalam menyambut kunjungan Imam Besar, Uskup Agung Canterbury mengambil inisiatif agar Imam Besar tinggal di "Istana Lambeth", markas besar keuskupan.  Di mana Imam Besar dan Uskup Agung memimpin putaran ketiga dialog antara Al-Azhar dan Gereja Anglikan seraya menekankan bahwa para pemimpin agama harus bertemu di sebuah tempat yang sama untuk mendiskusikan diskursus tentang "Agama-agama adalah kebutuhan manusia." Sementara Uskup Agung Canterbury menyerukan perlunya untuk fokus pada teks-teks suci dari ajaran perdamaian dan koeksistensi.

Selama tinggal di Istana Lambeth, Al-Tayeb bertemu dengan para pemuda yang berpartisipasi dalam “Forum Pemuda untuk Perdamaian”, yang diselenggarakan oleh Al-Azhar bekerja sama dengan Dewan Cendekiawan Muslim dan Keuskupan Agung Canterbury, dan 50 pemuda itu setengah dari mereka dari Barat dan separuh lainnya dari Timur. Forum tersebut bertujuan untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai toleransi dan dialog, dan untuk mendengarkan suara pemuda dan inisiatif mereka yang memiliki cita-cita dan berkreatif tinggi. Dalam pertemuan itu, beliau menegaskan bahwa ia merasa bertanggung jawab terhadap semua umat manusia, bukan hanya muslim saja, lebih dari itu bahwa permintaannya untuk kembali kepada nilai-nilai agama sama artinya dengan kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris dan Presiden Tony Blair Foundation. Imam Besar juga bertemu dengan anggota Forum Kristen-Islam Inggris. Dia menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi para ulama adalah perlunya menyebarkan ajaran dan nilai-nilai agama yang benar dalam kehidupan manusia.

Imam al-Akbar mengakhiri kunjungannya ke Inggris dengan memimpin pertemuan Dewan Cendekiawan Muslim yang bertepatan dengan berlalunya empat tahun pembentukan lembaga ini, di mana ia meninjau hasil paling penting yang dicapai selama periode sebelumnya dan rencana masa depan dan program untuk mencapai tujuannya untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan membangun jembatan komunikasi. Dan penghapusan ketegangan dan konflik di seluruh dunia dan juga diputuskan untuk mendaftarkan Dewan sebagai badan internasional yang terakreditasi secara universal.

Kembali ke Asia

Pada bulan Oktober 2018, Imam Besar kembali ke Asia, tetapi kali ini ke pertengahan benua itu yaitu kunjungan yang dia mulai dari Kazakhstan, republik terbesar di Asia Tengah atas undangan resmi Presiden Nursultan Nazarbayev untuk berpartisipasi dalam pembukaan sesi keenam “Konferensi Para Pemimpin Agama.” Pada awal kunjungan, Universitas Eurasia, universitas terbesar di Kazakhstan, menganugerari Imam Besar dengan gelar doktor kehormatan pada upacara yang dihadiri oleh dekan, profesor dan mahasiswa, dan kerumunan elit, tokoh agama, intelektual dan budayawan di Kazakhstan. Dalam upacara tersebut Grand Syekh mengatakan bahwa Kazakhstan adalah inkubator dari tempat lahir asli pikiran Muslim dan bahasa Arab, menambahkan bahwa peradaban Islam didasarkan pada segitiga; wahyu dan akal serta akhlak.


Selama kunjungannya beliau bertemu dengan Presiden Nazarbayev, yang menunjukkan bahwa Al-Azhar, berdasarkan kedudukan internasionalnya, memainkan peran utama dalam masalah-masalah umat Islam dan tanah air mereka. Imam Tayeb menekankan selama partisipasinya dalam pembukaan konferensi para pemimpin agama bahwa tidak dapat dihindarkan untuk kembali ke agama sebagai penjaga moralitas, untuk menyelesaikan krisis dunia modern kita, yang menderita krisis yang sangat kompleks yang diperparah oleh rasa sakit, ketegangan dan kecemasan.

Setelah partisipasinya dalam sesi pembukaan konferensi, Imam Besar meninggalkan Kazakhstan ke Tashkent, ibukota Uzbekistan, di mana ia bertemu dengan Presiden Uzbekistan Shaukat Mirdiyev, yang memuji peran penting Al-Azhar dalam mengekspresikan moderasi Islam dan toleransinya.  Seraya menegaskan bahwa Syekh Al-Azhar adalah "Manusia Perdamaian" dan bahwa pidatonya di konferensi para pemimpin agama membentuk pertahanan yang kuat terhadap Islam dan membebaskan Islam dari tuduhan terorisme. Syekh Besar Al-Azhar mengumumkan serangkaian langkah untuk meningkatkan kerja sama antara Al-Azhar dan Uzbekistan, termasuk meningkatkan jumlah beasiswa untuk siswa Uzbekistan, melatih para imam Uzbekistan tentang cara menangkal pemikiran-pemikiran ekstremis dan menampung sejumlah siswa untuk belajar bahasa Arab di Al-Azhar.

Selama kunjungannya, Imam Besar bertemu dengan Perdana Menteri Abdullah Arifov dan Presiden Senat, Nematollah Uldashiv, ketika menerima gelar doktor kehormatan dari Akademi Islam Internasional Uzbekistan sebagai pengakuan atas kontribusi luar biasa dan upayanya dalam menjelaskan toleransi Islam dan promosi budaya toleransi dan dialog. Di kesempatan ini juga Grand Syekh menandatangani nota kesepahaman antara Universitas Al-Azhar dan Akademi Internasional Uzbekistan dan Pusat Penelitian Ilmiah Imam Bukhari.

Di Keramahtamahan Paus

Setelah kunjungannya ke Asia Tengah, Imam Besar pergi ke Eropa dan khususnya ke kota Italia di Bologna untuk menghadiri konferensi “Agama, Budaya, dan Dialog.” Grand Syekh menyampaikan pidato pada sesi utama di mana ia menekankan bahwa Al-Azhar mengajarkan kepada siswa-siswanya nilai penghargaan untuk budaya masyarakat dan tidak dapat diganggu gugat. "Krisis Induk" di dunia kita adalah "Krisis Perdamaian", perdagangan senjata dan pengapian perang. Beliau juga mengunjungi Universitas Bologna, salah satu universitas tertua di Italia dan juga tertua di Eropa, di mana beliau dianugerahi penghargaan “Prestasi Agung” oleh Universitas, penghargaan tertinggi yang diberikan kepada sejumlah pemimpin politik dan agama, pemikir dan cendekiawan.



Setelah partisipasinya dalam konferensi itu, Imam Besar pergi ke ibukota Italia Roma, di mana ia bertemu dengan Presiden Italia Sergio Matarella, yang mengatakan bahwa Imam At-Tayeb mewakili simbol besar dialog dan perdamaian di dunia, dan bahwa citranya bersama Paus Vatikan menjatuhkan banyak sekat-sekat dan penghalang. Grand Syekh mengakhiri kunjungannya ke Italia di hadapan yang mulia Paus Fransiskus, Paus Benediktus XVI, dan mengungkapkan kebahagiaannya pada pertemuan persahabatannya dengan “Saudara dan Temannya” Paus Fransiskus, yang mewujudkan model seorang ulama moderat yang toleran dan moderat yang peduli dengan masalah dan penderitaan orang miskin, rentan dan tuna wisma. Al-Azhar berbagi minatnya di dalamnya, karena itu mewakili esensi dari ajaran agama, yang datang hanya untuk kebaikan orang-orang dan kebahagiaan mereka, dan untuk mendesak mereka untuk berbelas kasih dan berbelas kasih di antara mereka sendiri.

Sementara itu, Paus Francis menghargai kunjungan Imam besar Dr. Ahmed Al-Tayeb, dan mengucapkan selamat atas kehormatannya dari Universitas Bologna yang menghargai peran penting kebajikannya dalam mendukung nilai-nilai perdamaian dan dialog di seluruh dunia. Dia menekankan bahwa Vatikan berharap untuk kerjasama lebih lanjut dan kerja sama dengan Al-Azhar di mana dunia membutuhkan upaya dari Al-Azhar yang membangun jembatan komunikasi dan dialog, dan tidak membangun tembok isolasi dan pengucilan.

Martabat Anak

Imam Besar mengakhiri kunjungan luar negerinya pada tahun 2018 dengan kunjungan ke ibukota UEA, Abu Dhabi, untuk berpartisipasi dalam "Pertemuan Agama... Martabat Anak di Dunia Digital.” Di mana ia menyampaikan pidato utama pada konferensi tersebut, di hadapan para pemimpin dari banyak agama dan sekte dari seluruh dunia. Di mana ia mengatakan bahwa Islam adalah yang pertama-tama yang memberlakukan undang-undang yang paling komprehensif dan terbaik tentang anak dan hak-haknya dan tidak ada yang setara dalam sistem lain, dan bahkan Islam merawat anak-anak sebelum mereka menjadi embrio dalam perut ibu mereka sampai mereka mencapai jumlah pria dan wanita. Dan bahwa undang-undang modern masih perlu dipandu oleh ketentuan Islam dan agama pada umumnya tentang hak-hak anak yang menekankan bahwa hukum Islam mewajibkan ibu Kristen atau Yahudi untuk mengasuh anak muslim dan tidak menghakimi ayahnya dan keluarga muslimnya dengan hak asuhnya. Dan bahwa tidak ada perbedaan antara para sarjana Islam dalam larangan kejahatan terhadap anak-anak secara kategoris dilarang, atau dalam bentuk motif apa pun atau dengan sarana bagaimana pun.



Pemimpin dalam Keramahtamahan Imam Besar

Bersamaan dengan kunjungan luar negeri Imam Besar, yang berkontribusi kuat untuk menyoroti toleransi Islam dan menyerukan penyebaran budaya moderat, koeksistensi dan perdamaian, Al-Azhar juga menjadi tujuan sejumlah presiden, pemimpin, dan pejabat selama tahun 2018. Di antaranya adalah yang mulia Pangeran Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, yang menyatakan kebanggaan negaranya pada Al-Azhar Al-Sharif dan pribadi Imam Al-Tayeb dan upayanya untuk menyebarkan budaya moderat, koeksistensi, perdamaian, dan memerangi ideologi ekstremis. Mengekspresikan aspirasi kerajaan untuk memperdalam kerja sama dengan Al-Azhar, dan mengambil manfaat dari keahliannya dalam memerangi ideologi ekstremis dan menyebarkan budaya koeksistensi dan perdamaian.

Putra Mahkota juga berpartisipasi dengan Presiden Abdel Fattah Al-Sisi dan Imam Besar Imam Akbar dalam pembukaan renovasi masjid Al-Azhar, Shekh Al-Azhar menyatakan terima kasih dan penghargaannya yang tulus atas dukungan Kerajaan Arab Saudi untuk peran dunia Al-Azhar melalui dukungan dalam proyek untuk merenovasi Masjid Al-Azhar dan penyempurnaan bangunan Madianah Buuts Islamiyah.

Syekh juga menerima Presiden Marcelo Ribelo de Souza, Presiden Republik Portugal, di mana ia memuji kebesaran yang ia saksikan selama kunjungannya ke Portugal atas koeksistensi dan toleransi positif di antara orang-orang Portugal dari semua agama dan budaya. Ia menyatakan keinginan Al-Azhar untuk mendukung model ini dengan menawarkan beasiswa kepada siswa muslim Portugis. Dalam Al-Azhar Al-Sharif, dan membawa para imam masjid-masjid Portugal untuk melatih mereka tentang masalah koeksistensi dan perdamaian masyarakat. Membalas itu,  Presiden Portugal mengatakan bahwa kunjungan Grand Imam ke Portugal merupakan peristiwa penting bagi masyarakat Portugis seraya menekankan bahwa kebijakannya dalam melakukan upaya besar untuk menyebarkan perdamaian di seluruh dunia itu menggambarkan peran Al-Azhar sebagai ‘Lembaga Internasional”  dengan sejarah yang agung. 



Presiden Marcello de Souza menyampaikan pidatonya di auditorium Imam Muhammad Abduh di Universitas Al-Azhar, di mana ia mencatat bahwa kehadirannya di Universitas Al-Azhar yang kaya dengan peradaban, pemikiran dan budayanya yang membuatnya merasa seolah-olah berada di tanah kelahirannya. Serta menambahkan bahwa kebijakan Imam Besar mewujudkan para pemimpin yang percaya pada perdamaian dan kebebasan beragama, itu menyerukan cinta dan penerimaan yang lain, yang merupakan nilai-nilai yang sangat penting dan harus sampai di seluruh antero dunia. Kemudian setelah itu, Imam Besar mengajak Presiden Portugal untuk  mengunjungi Masjid Al-Azhar, untuk mengenalkan pilar-pilarnya, seni arsitektur dan landmark bersejarah, setelah proses renovasi dan pengembangan komprehensif disaksikan oleh semua orang.

Persaudaraan Manusia

Syekh Abdullah bin Zayed, Menteri Luar Negeri UEA juga mengunjungi Al-Azhar untuk menyampaikan undangan resmi dari yang mulia Syekh Mohammed bin Zayed, Putra Mahkota Abu Dhabi kepada Syekh Besar Al-Azhar untuk mengunjungi UEA dan menghadiri konferensi dunia berjudul "Dialog Pemimpin Agama untuk Persaudaraan Manusia" yang akan dipandu oleh Uni Emirat Arab dan dihadiri oleh Grand Syekh, Paus Francis, Paus Gereja Katolik, dan sejumlah besar pemimpin agama dan simbol agama di seluruh dunia.

Beliau juga menerima Penasihat Adly Mansour, mantan Presiden Republik dan mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Agung, yang menyatakan penghargaan atas peran yang dimainkan oleh Al-Azhar dalam melestarikan moderasi Islam dan perdamaian serta keamanan masyarakat di Mesir dan dunia Islam. Para cendekiawannya, yang tumbuh untuk menerima perbedaan, membentuk tembok pertama perlawanan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran radikal.

Mantan presiden Mesir itu juga menekankan bahwa Imam Al-Tayyib telah mengembalikan kepemimpinan Al-Azhar Al-Sharif dan kedudukan internasionalnya, dan melakukan upaya besar di tingkat global untuk mencapai perdamaian di dunia juga memuji peran kebajikan nasionalnya dalam menghadapi terorisme dan menangkal klaim kelompok-kelompok ekstremis.

Source: mobtada.com


Komentar