Kunjungan dan Pertemuan Grand Syekh Al-Azhar pada tahun 2018, “Pendekatan Humanistik dan Pesan Universal”
Pertemuan dan kunjungan eksternal Imam Besar Dr. Ahmed Al-Tayeb, Syekh Al-Azhar pada 2018 mencerminkan pengaruh dan meningkatnya peran lembaga Islam terbesar di dunia ini.
Di bawah payung manhaj moderasinya yaitu moderat untuk penerimaan dan penghormatan universal dan juga upaya-upaya aktifnya dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi, dialog dan perdamaian di antara semua orang dari semua agama dan budaya yang berdasarkan pada pendekatan kemanusiaan Al-Azhar dan pesan universalnya, ia berusaha membangun jembatan komunikasi dan dialog sebagai alternatif dari sekat-sekat yang menghalangi. Oleh karena itu ia menetapkan kebijakan untuk menjelajah benua-benua dunia dan negaranya di Timur dan Barat untuk merealisasikan risalah yang dipegang Al-Azhar ini selama lebih dari seribu tahun.
Di bawah payung manhaj moderasinya yaitu moderat untuk penerimaan dan penghormatan universal dan juga upaya-upaya aktifnya dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi, dialog dan perdamaian di antara semua orang dari semua agama dan budaya yang berdasarkan pada pendekatan kemanusiaan Al-Azhar dan pesan universalnya, ia berusaha membangun jembatan komunikasi dan dialog sebagai alternatif dari sekat-sekat yang menghalangi. Oleh karena itu ia menetapkan kebijakan untuk menjelajah benua-benua dunia dan negaranya di Timur dan Barat untuk merealisasikan risalah yang dipegang Al-Azhar ini selama lebih dari seribu tahun.
Imam Besar memulai kunjungan luar negerinya yang
pertama pada tahun 2018 pada 14 Maret, dari Ibukota Portugal, Lisbon atas
undangan Presiden Portugal Marcelo Ribelo de Souza. Bersamaan dengan itu,
Kementerian Luar Negeri Portugis menyambut baik kunjungan tersebut dengan
mengeluarkan pernyataan resmi menyambut kunjungan tersebut, mereka menganggap
bahwa Grand Syekh sebagai perwakilan tertinggi Islam Sunni yang memimpin
estafet pembaruan di Al-Azhar dan selalu mendukung dialog di antara berbagai
agama.
Syekh Al-Azhar memulai kegiatannya di Lisbon dengan
mengunjungi markas Parlemen Portugal, di mana ia diterima oleh Eduardo Ferro
Rodríguez, Presiden Parlemen Portugal, yang menegaskan bahwa kunjungannya ke
negaranya mengirimkan pesan-pesan penting untuk membangun jembatan dialog dan
koeksistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa parlemen Portugis selalu aktif
mengikuti upaya-upaya Al-Azhar dalam menghadapi ideologi ekstremis dan
mempromosikan dialog antara Timur dan Barat.
Seorang Pemimpin Agama yang Hebat
Setelah kunjungannya ke parlemen Portugis, Imam
Besar pergi ke istana kepresidenan di Lisbon untuk bertemu dengan Presiden
Portugal Profesor Marcelo Ribelo de Souza.
Profesor Marcelo Ribelo menegaskan bahwa dunia sangat bergantung pada
suara kebijaksanaan dan moderasi yang diwakili oleh Al-Azhar dan juga ia amat
menghargai upaya yang dilakukan oleh Syekh Al-Azhar untuk mengkonsolidasikan
prinsip-prinsip dialog dan penerimaan yang lain. Di kesempatan tersebut dia
mengutarakan keinginanya untuk juga mendapat manfaat dari keahlian Al-Azhar
dalam mendukung nilai-nilai moderasi dan koeksistensi. Sementara itu Imam Besar
mengatakan bahwa Al-Azhar siap untuk kerjasama lebih lanjut dengan Portugal
dalam rangka melestarikan dan memperdalam keadaan perdamaian sosial yang
menjadi ciri khasnya.
Di Universitas Katolik di Lisbon, Syekh Agung
Al-Azhar ini menyampaikan ceramah yang berjudul "Pertanyaan seputar Nilai-Nilai
Agama dan Krisis Masyarakat Kontemporer." Syekh memperingatkan bahwa
Palestina hari ini menghadapi arogansi kekuasaan, suara penindas, kebijakan
ketidakadilan dan pemindahan, dan bahwa dunia kontemporer sedang mengalami
serangkaian krisis yang menyulitkan konflik dan polarisasi internasional. Di
ceramah tersebut beliau juga sekaligus menyerukan panggilan agama untuk datang
ke realitas manusia saat ini dan mengendalikan tindakan mereka dengan
keseimbangan moral yang besar yang mampu menunaikan keadilan dan kesetaraan.
Grand Syekh Al-Azhar mengakhiri kunjungannya ke
Portugal dengan memberikan pidato utama pada perayaan peringatan 50 tahun
berdirinya Masyarakat Islam di Lisbon, di hadapan Presiden Portugal, Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pejabat senior di Portugal. Dia
menekankan bahwa Lisbon memiliki pengaruh besar dalam sejarah keilmuan,
kesusastraaan, hukum dan kebudayaan umat Islam. Seraya menyerukan konsolidasi
"Fikih Kewarganegaraan" di kalangan muslim di Eropa sebagai langkah
yang diperlukan di jalur "Integrasi Positif," juga mengumumkan
kebijakan pembukaan Departemen Bahasa dan Sastra Portugis di Universitas
Al-Azhar. Menanggapi itu Presiden Portugal yang ia akan sampaikan pesan
perdamaian dan pembukaan Departemen Bahasa dan Sastra Portugis ini kepada
masyarakat Purtugal. Dan mengatakan bahwa Grand Syekh sebagai komandan besar
agama yang selalu menyerukan toleransi dan perdamaian.
Di Negara Mauritania
Setelah kunjungannya ke Portugal, Syekh Al-Azhar
menuju ke ibukota Mauritania, Nouakchott, bagian kedua dari kunjungan luar negerinya.
Ia memulai dengan berbicara kepada Dewan Tertinggi untuk Fatwa. Di mana ia
diterima oleh Menteri Urusan Islam Ahmed bin Daoud dan Syekh Mohammed
Al-Mukhtar bin Imbalah yang menegaskan bahwa orang-orang Mauritania bangga
dengan Azhar sebagai referensi mereka dan menyatakan aspirasinya untuk menjadi
bagian dari kunjungan ke Imam Besar dari
rangkaian episode perlawanan Al-Azhar
melawan ideologi ekstremis dan menyebarkan moderasi Islam.
Sementara itu, Imam Besar memuji peran Mauritania
dalam melestarikan warisan Islam dan Arab, yang menjadikannya salah satu
mercusuar ilmiah terkemuka di dunia Islam, menunjukkan bahwa Al-Azhar
menyaksikan kebangkitan warisan melalui kebangkitan cakrawala ilmiahnya.
Selanjutnya, ia mengunjungi markas radio channel Mahzerh
dan radio Alquran Al-Karim. Kemudian diadakanlah sebuah simposium ilmiah dengan
sarjana senior agama Mauritania, yang menganggap bahwa Al-Azhar Al-Sharif dan
dosen dari Singkithi selalu mempertahankan turats umat Islam, dalam hafalan,
periwayatan, syarah (penjelasan) atau ta’lik (komentar). Dan bahwa yang terbaik yang dapat kami
tawarkan kepada bangsa kami dalam krisisnya adalah memperdalam hubungan ilmiah
antara para sarjana Al-Azhar dan para sarjana Singkithi.
Setelah itu Syekh Al-Azhar pergi ke kursi kepresidenan, di mana dia disambut
oleh Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz, yang memuji peran Al-Azhar
dalam penyebaran Islam moderat dan usahanya dalam menghadapi ide-ide ekstremis,
dan meluruskan pemahaman-pemahan agama yang keliru, dan juga menyambut baik
usulan Grand Syekh untuk mendirikan pusat pemikiran Imam Asy'ari di Mauritania
di bawah pengawasan Al-Azhar.
Di akhir kunjungannya ke Mauritania, ia menyaksikan
protokol upaca penandatanganan kerjasama antara Universitas Al-Azhar dan Universitas
Ilmu Islam Mauritania dan protokol
lainnya yaitu dengan Institut Tinggi Studi Islam dan Riset Penelitian.
Imam Besar di Indonesia
Kurang dari sebulan kemudian, Imam Besar
dijadwalkan untuk kunjungan ke luar negeri kedua, kali ini ke Asia Tenggara,
khususnya ke Indonesia, Singapura dan Kesultanan Brunei. Kunjungan Syekh
dimulai pada 18 April dari Jakarta, di mana ia bertemu Presiden Indonesia Joko
Widodo, yang menekankan bahwa Al-Azhar mewakili pusat Timur Tengah di dunia
Islam memainkan peran yang sangat penting dalam menghadapi kelompok-kelompok
ekstremis, sekaligus menegaskan bahwa orang Indonesia percaya dan yakin kepada
Al-Azhar dengan mengirim anak-anak mereka untuk belajar di Al-Azhar.
Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Yusuf
Kalla saat itu mengadakan makan malam untuk menghormati Imam Besar dan delegasi
yang menyertainya, di hadapan sejumlah pejabat senior Indonesia. Hari
berikutnya, ia pergi ke Istana Presiden di Kota Bogor, berdekatan dengan
Jakarta, untuk menyampaikan keyword speech dalam pembukaan pertemuan musyawarah
internasional para cendekiawan dan intelektual tentang moderasi Islam. Di hadapan Presiden Indonesia dan sejumlah
tokoh agama terkemuka di dunia, dalam pidatonya beliau menekankan bahwa
moderasi Islam adalah memastikan sikap
sikap yang menghargai keseimbangan, keragaman dan otoritas Islam yang
dengan itu menjadi modal untuk menangkal bahaya ekstremisme dan intoleransi,
atau bahaya dekonstruksi pokok-pokok ajaran Islam.
Kemudian, di pesawat Wakil Presiden Indonesia, Imam
al-Akhr melakukan perjalanan ke Solo, di mana ia memimpin Konferensi Nasional
Alumni Al-Azhar di Indonesia yang jumlahnya kini diperkirakan lebih dari 30.000
lulusan yang saat ini berkontribusi kuat pada kebangkitan negara. Dikesempatan
tersebut Imam Besar mengumumkan untuk pembentukan unit khusus untuk
berkomunikasi dengan lulusan Al-Azhar dari Indonesia.
Beliau juga mengadakan dialog terbuka dengan para
profesor dan mahasiswa universitas Muhammadiyah di Solo, di mana dia menekankan
bahwa dasar-dasar perdamaian dalam Al-Quran adalah penerimaan perbedaan dan
kebebasan berkeyakinan dan saling mengenali atau ta’aruf. Prinsip-prinsip ini
adalah rahasia dari kesinambungan Al-Azhar. Sekretaris Umum Muhammadiyah
mengatakan bahwa lulusan Al-Azhar sangat berkontribusi pada pendidikan
ilmu-ilmu Islam di universitas-universitas dan sekolah-sekolah.
Syekh Besar Al Azhar mengakhiri perjalanannya ke
Solo dengan mengunjungi Pondok Pesantren Modern Putri. Di kesempatan tersebut
ratusan meter siswa berderet menyambut kunjungan Grand Syekh. Dan juga terdapat
sambutan pertunjukan dari siswi-siswi dengan yang menyanyikan lagu kebangsaan
Republik Arab Mesir dalam bait lagunya “Mesir, Wahai sang Ibu Dunia, .. Engkau
adalah maksud dan tujuan ku" Grand Syekh merasa terharu. Menanggapi hal
itu Grand Syekh membalas sambutan indah itu dengan menyatakan bahwa beliau
memegang hadiah dari Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, yaitu alokasi 30
beasiswa untuk belajar di Al-Azhar untuk siswi Pondok Modern Gontor.
Keramahan Singapura
Dari Indonesia, Syekh Al-Azhar berpindah ke
Singapura yang merupakan bagian kedua dari perjalanannya. Di mana ia menerima
sambutan yang luar biasa di sana. Pemerintah Singapura mendedikasikan misi
kehormatan untuk menemani Imam Besar, Dipimpin oleh Dr. Mohammed Malki Othman,
Menteri Senior Negara untuk Luar Negeri dan Pertahanan, Imam Besar memulai
pertemuannya di Singapura dengan pertemuan Perdana Menteri Teo Chi Hin, yang
menyelenggarakan perjamuan untuk menghormati Grand Imam dengan menegaskan bahwa
alumni Al-Azhar secara aktif berkontribusi pada nilai-nilai toleransi dan
koeksistensi di Singapura dan bahwa semua pemimpin agama Islam di Singapura
adalah alumni Al-Azhar. Hal tersebut seiring dengan harapan negaranya untuk
mendapatkan manfaat dari pengalaman Al-Azhar dalam menghadapi
pemikiran-pemikiran radikal.
Pada hari kedua kunjungan, Imam Besar bertemu
Presiden Republik Singapura Halima Yakub, yang menegaskan bahwa bangsanya
memuliakan dan menghormati Al-Azhar Al-Sharif dan menyatakan harapannya untuk
mendukung Al-Azhar Singapura dalam persiapan kurikulum Islam dan pelatihan para
imamnya.
Imam Besar memberikan kuliah tahunan Dewan Islam
Singapura, pada kesempatan peringatan 50 tahun pendiriannya, di mana ia
menekankan perlunya integrasi positif umat Islam dalam masyarakat tempat mereka
tinggal, dan untuk menjadi "saudara sesama umat manusia" adalah mata
rantai yang menyatukan orang-orang dari berbagai agama dan budaya. Beliau juga
mengunjungi Masjid Khadija, salah satu masjid tertua di Singapura, pusat
bimbingan agama dan sekolah Islam Imam Al-Junaid. Grand Syekh kemudian
menunaikan shalat Jumat yang diadakan di Masjid Sultan, masjid terbesar di
Singapura, tempat ratusan orang berkumpul untuk menyambut dan menyambutnya.
Pemerintah Brunei di hadapan Imam
Pada persinggahan akhir dari kunjungannya di Asia
Tenggara, Imam Besar pergi ke Brunei Darussalam di mana ia bertemu dengan
Hassan al-Bolkiah, Sultan Brunei. Setelah pertemuan itu, Syekh mengumumkan
bahwa mereka sepakat untuk mendirikan cabang Organisasi Internasional Alumni Al
Azhar di Brunei diseertai kuota 30 beasiswa bagi siswa Brunei untuk belajar di
Al-Azhar, di samping penunjukan Mufti Brunei sebagai anggota Dewan Cendekiawan
Muslim. Saat memberikan sambutan, Sultan Brunei mengucapkan terima kasih kepada
Al-Azhar Al-Sharif, seraya berseru kepada Allah untuk melestarikan Al-Azhar dan
juga Sang Imam dan ia mengatakan bahwa ia Al-Azhar akan tetap terbuka untuk
rakyat Brunei.
Pada hari kedua kunjungan, Imam Akbar menyampaikan
ceramah tentang "Tantangan yang dihadapi negara Islam dalam menghadapi
terorisme" di Pusat Konferensi Internasional, di hadapan semua menteri
pemerintah dan pemimpin senior negara di Brunei. Bahwa kaum Muslim adalah
korban pertama dari kelompok-kelompok teroris ini, dan bahwa perang dalam Islam
adalah perkecualian yang terpaksa hanya dengan kebutuhan-kebutuhan terbaik. Imam
Akbar mengakhiri kunjungannya ke Kesultanan Brunei, menginspeksi Sekolah
Menengah Putri, mengunjungi museum kerajaan dan berkeliling sungai sembari
mengunjungi peninggalan corak khas monumen Kesultanan Brunei dan banyak tempat
wisata sejarah dan alamnya.
Syekh Al-Azhar di Windsor Castle
Pada tanggal 12 Juli, Imam Besar dalam agenda
kunjungan luar negerinya yang ketiga pada tahun 2018, yang kali ini terbatas di negara Inggris, dan diterima pada
saat kedatangan di Bandara Heathrow oleh Dr. Stephen Wilby, Uskup Agung
Canterbury. Imam Besar Al-Azhar membuka kunjungannnya dengan menziarahi Ratu
Elizabeth II, Ratu Inggris, di Kastil Windsor yang bersejarah. Di mana Imam
Besar mengatakan bahwa Al-Azhar membuka jendela dialog dengan semua orang untuk
mengkonsolidasikan nilai-nilai perdamaian dan koeksistensi, sedangkan Ratu
Inggris bahwa dunia sangat bergantung pada pemimpin agama untuk mempromosikan
perdamaian dunia.
Dalam menyambut kunjungan Imam Besar, Uskup Agung
Canterbury mengambil inisiatif agar Imam Besar tinggal di "Istana
Lambeth", markas besar keuskupan.
Di mana Imam Besar dan Uskup Agung memimpin putaran ketiga dialog antara
Al-Azhar dan Gereja Anglikan seraya menekankan bahwa para pemimpin agama harus
bertemu di sebuah tempat yang sama untuk mendiskusikan diskursus tentang
"Agama-agama adalah kebutuhan manusia." Sementara Uskup Agung
Canterbury menyerukan perlunya untuk fokus pada teks-teks suci dari ajaran
perdamaian dan koeksistensi.
Selama tinggal di Istana Lambeth, Al-Tayeb bertemu
dengan para pemuda yang berpartisipasi dalam “Forum Pemuda untuk Perdamaian”,
yang diselenggarakan oleh Al-Azhar bekerja sama dengan Dewan Cendekiawan Muslim
dan Keuskupan Agung Canterbury, dan 50 pemuda itu setengah dari mereka dari
Barat dan separuh lainnya dari Timur. Forum tersebut bertujuan untuk
mengkonsolidasikan nilai-nilai toleransi dan dialog, dan untuk mendengarkan
suara pemuda dan inisiatif mereka yang memiliki cita-cita dan berkreatif
tinggi. Dalam pertemuan itu, beliau menegaskan bahwa ia merasa bertanggung
jawab terhadap semua umat manusia, bukan hanya muslim saja, lebih dari itu
bahwa permintaannya untuk kembali kepada nilai-nilai agama sama artinya dengan
kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Tony Blair, mantan
Perdana Menteri Inggris dan Presiden Tony Blair Foundation. Imam Besar juga
bertemu dengan anggota Forum Kristen-Islam Inggris. Dia menunjukkan bahwa
tantangan yang dihadapi para ulama adalah perlunya menyebarkan ajaran dan
nilai-nilai agama yang benar dalam kehidupan manusia.
Imam al-Akbar mengakhiri kunjungannya ke Inggris dengan memimpin pertemuan Dewan Cendekiawan Muslim yang bertepatan dengan berlalunya
empat tahun pembentukan lembaga ini, di mana ia meninjau hasil paling penting
yang dicapai selama periode sebelumnya dan rencana masa depan dan program untuk
mencapai tujuannya untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan membangun jembatan
komunikasi. Dan penghapusan ketegangan dan konflik di seluruh dunia dan juga
diputuskan untuk mendaftarkan Dewan sebagai badan internasional yang
terakreditasi secara universal.
Kembali ke Asia
Pada bulan Oktober 2018, Imam Besar kembali ke
Asia, tetapi kali ini ke pertengahan benua itu yaitu kunjungan yang dia mulai
dari Kazakhstan, republik terbesar di Asia Tengah atas undangan resmi Presiden
Nursultan Nazarbayev untuk berpartisipasi dalam pembukaan sesi keenam
“Konferensi Para Pemimpin Agama.” Pada awal kunjungan, Universitas Eurasia,
universitas terbesar di Kazakhstan, menganugerari Imam Besar dengan gelar
doktor kehormatan pada upacara yang dihadiri oleh dekan, profesor dan
mahasiswa, dan kerumunan elit, tokoh agama, intelektual dan budayawan di Kazakhstan.
Dalam upacara tersebut Grand Syekh mengatakan bahwa Kazakhstan adalah inkubator
dari tempat lahir asli pikiran Muslim dan bahasa Arab, menambahkan bahwa
peradaban Islam didasarkan pada segitiga; wahyu dan akal serta akhlak.
Selama kunjungannya beliau bertemu dengan Presiden
Nazarbayev, yang menunjukkan bahwa Al-Azhar, berdasarkan kedudukan
internasionalnya, memainkan peran utama dalam masalah-masalah umat Islam dan
tanah air mereka. Imam Tayeb menekankan selama partisipasinya dalam pembukaan
konferensi para pemimpin agama bahwa tidak dapat dihindarkan untuk kembali ke
agama sebagai penjaga moralitas, untuk menyelesaikan krisis dunia modern kita,
yang menderita krisis yang sangat kompleks yang diperparah oleh rasa sakit,
ketegangan dan kecemasan.
Setelah partisipasinya dalam sesi pembukaan
konferensi, Imam Besar meninggalkan Kazakhstan ke Tashkent, ibukota Uzbekistan,
di mana ia bertemu dengan Presiden Uzbekistan Shaukat Mirdiyev, yang memuji
peran penting Al-Azhar dalam mengekspresikan moderasi Islam dan
toleransinya. Seraya menegaskan bahwa
Syekh Al-Azhar adalah "Manusia Perdamaian" dan bahwa pidatonya di
konferensi para pemimpin agama membentuk pertahanan yang kuat terhadap Islam
dan membebaskan Islam dari tuduhan terorisme. Syekh Besar Al-Azhar mengumumkan
serangkaian langkah untuk meningkatkan kerja sama antara Al-Azhar dan
Uzbekistan, termasuk meningkatkan jumlah beasiswa untuk siswa Uzbekistan,
melatih para imam Uzbekistan tentang cara menangkal pemikiran-pemikiran
ekstremis dan menampung sejumlah siswa untuk belajar bahasa Arab di Al-Azhar.
Selama kunjungannya, Imam Besar bertemu dengan
Perdana Menteri Abdullah Arifov dan Presiden Senat, Nematollah Uldashiv, ketika
menerima gelar doktor kehormatan dari Akademi Islam Internasional Uzbekistan
sebagai pengakuan atas kontribusi luar biasa dan upayanya dalam menjelaskan
toleransi Islam dan promosi budaya toleransi dan dialog. Di kesempatan ini juga
Grand Syekh menandatangani nota kesepahaman antara Universitas Al-Azhar dan
Akademi Internasional Uzbekistan dan Pusat Penelitian Ilmiah Imam Bukhari.
Di Keramahtamahan Paus
Setelah kunjungannya ke Asia Tengah, Imam Besar
pergi ke Eropa dan khususnya ke kota Italia di Bologna untuk menghadiri
konferensi “Agama, Budaya, dan Dialog.” Grand Syekh menyampaikan pidato pada
sesi utama di mana ia menekankan bahwa Al-Azhar mengajarkan kepada
siswa-siswanya nilai penghargaan untuk budaya masyarakat dan tidak dapat
diganggu gugat. "Krisis Induk" di dunia kita adalah "Krisis
Perdamaian", perdagangan senjata dan pengapian perang. Beliau juga mengunjungi
Universitas Bologna, salah satu universitas tertua di Italia dan juga tertua di
Eropa, di mana beliau dianugerahi penghargaan “Prestasi Agung” oleh
Universitas, penghargaan tertinggi yang diberikan kepada sejumlah pemimpin
politik dan agama, pemikir dan cendekiawan.
Setelah partisipasinya dalam konferensi itu, Imam
Besar pergi ke ibukota Italia Roma, di mana ia bertemu dengan Presiden Italia
Sergio Matarella, yang mengatakan bahwa Imam At-Tayeb mewakili simbol besar
dialog dan perdamaian di dunia, dan bahwa citranya bersama Paus Vatikan
menjatuhkan banyak sekat-sekat dan penghalang. Grand Syekh mengakhiri
kunjungannya ke Italia di hadapan yang mulia Paus Fransiskus, Paus Benediktus
XVI, dan mengungkapkan kebahagiaannya pada pertemuan persahabatannya dengan
“Saudara dan Temannya” Paus Fransiskus, yang mewujudkan model seorang ulama
moderat yang toleran dan moderat yang peduli dengan masalah dan penderitaan
orang miskin, rentan dan tuna wisma. Al-Azhar berbagi minatnya di dalamnya,
karena itu mewakili esensi dari ajaran agama, yang datang hanya untuk kebaikan
orang-orang dan kebahagiaan mereka, dan untuk mendesak mereka untuk berbelas
kasih dan berbelas kasih di antara mereka sendiri.
Sementara itu, Paus Francis menghargai kunjungan
Imam besar Dr. Ahmed Al-Tayeb, dan mengucapkan selamat atas kehormatannya dari
Universitas Bologna yang menghargai peran penting kebajikannya dalam mendukung
nilai-nilai perdamaian dan dialog di seluruh dunia. Dia menekankan bahwa
Vatikan berharap untuk kerjasama lebih lanjut dan kerja sama dengan Al-Azhar di
mana dunia membutuhkan upaya dari Al-Azhar yang membangun jembatan komunikasi
dan dialog, dan tidak membangun tembok isolasi dan pengucilan.
Martabat Anak
Imam Besar mengakhiri kunjungan luar negerinya pada
tahun 2018 dengan kunjungan ke ibukota UEA, Abu Dhabi, untuk berpartisipasi
dalam "Pertemuan Agama... Martabat Anak di Dunia Digital.” Di mana ia
menyampaikan pidato utama pada konferensi tersebut, di hadapan para pemimpin
dari banyak agama dan sekte dari seluruh dunia. Di mana ia mengatakan bahwa
Islam adalah yang pertama-tama yang memberlakukan undang-undang yang paling
komprehensif dan terbaik tentang anak dan hak-haknya dan tidak ada yang setara
dalam sistem lain, dan bahkan Islam merawat anak-anak sebelum mereka menjadi
embrio dalam perut ibu mereka sampai mereka mencapai jumlah pria dan wanita.
Dan bahwa undang-undang modern masih perlu dipandu oleh ketentuan Islam dan
agama pada umumnya tentang hak-hak anak yang menekankan bahwa hukum Islam
mewajibkan ibu Kristen atau Yahudi untuk mengasuh anak muslim dan tidak
menghakimi ayahnya dan keluarga muslimnya dengan hak asuhnya. Dan bahwa tidak
ada perbedaan antara para sarjana Islam dalam larangan kejahatan terhadap
anak-anak secara kategoris dilarang, atau dalam bentuk motif apa pun atau
dengan sarana bagaimana pun.
Pemimpin dalam Keramahtamahan Imam Besar
Bersamaan dengan kunjungan luar negeri Imam Besar,
yang berkontribusi kuat untuk menyoroti toleransi Islam dan menyerukan
penyebaran budaya moderat, koeksistensi dan perdamaian, Al-Azhar juga menjadi
tujuan sejumlah presiden, pemimpin, dan pejabat selama tahun 2018. Di antaranya
adalah yang mulia Pangeran Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, Putra
Mahkota Kerajaan Arab Saudi, yang menyatakan kebanggaan negaranya pada Al-Azhar
Al-Sharif dan pribadi Imam Al-Tayeb dan upayanya untuk menyebarkan budaya
moderat, koeksistensi, perdamaian, dan memerangi ideologi ekstremis.
Mengekspresikan aspirasi kerajaan untuk memperdalam kerja sama dengan Al-Azhar,
dan mengambil manfaat dari keahliannya dalam memerangi ideologi ekstremis dan
menyebarkan budaya koeksistensi dan perdamaian.
Putra Mahkota juga berpartisipasi dengan Presiden
Abdel Fattah Al-Sisi dan Imam Besar Imam Akbar dalam pembukaan renovasi masjid
Al-Azhar, Shekh Al-Azhar menyatakan terima kasih dan penghargaannya yang tulus
atas dukungan Kerajaan Arab Saudi untuk peran dunia Al-Azhar melalui dukungan
dalam proyek untuk merenovasi Masjid Al-Azhar dan penyempurnaan bangunan
Madianah Buuts Islamiyah.
Syekh juga menerima Presiden Marcelo Ribelo de
Souza, Presiden Republik Portugal, di mana ia memuji kebesaran yang ia saksikan
selama kunjungannya ke Portugal atas koeksistensi dan toleransi positif di
antara orang-orang Portugal dari semua agama dan budaya. Ia menyatakan
keinginan Al-Azhar untuk mendukung model ini dengan menawarkan beasiswa kepada
siswa muslim Portugis. Dalam Al-Azhar Al-Sharif, dan membawa para imam
masjid-masjid Portugal untuk melatih mereka tentang masalah koeksistensi dan
perdamaian masyarakat. Membalas itu,
Presiden Portugal mengatakan bahwa kunjungan Grand Imam ke Portugal
merupakan peristiwa penting bagi masyarakat Portugis seraya menekankan bahwa
kebijakannya dalam melakukan upaya besar untuk menyebarkan perdamaian di
seluruh dunia itu menggambarkan peran Al-Azhar sebagai ‘Lembaga
Internasional” dengan sejarah yang
agung.
Presiden Marcello de Souza menyampaikan pidatonya
di auditorium Imam Muhammad Abduh di Universitas Al-Azhar, di mana ia mencatat
bahwa kehadirannya di Universitas Al-Azhar yang kaya dengan peradaban,
pemikiran dan budayanya yang membuatnya merasa seolah-olah berada di tanah
kelahirannya. Serta menambahkan bahwa kebijakan Imam Besar mewujudkan para
pemimpin yang percaya pada perdamaian dan kebebasan beragama, itu menyerukan
cinta dan penerimaan yang lain, yang merupakan nilai-nilai yang sangat penting
dan harus sampai di seluruh antero dunia. Kemudian setelah itu, Imam Besar
mengajak Presiden Portugal untuk
mengunjungi Masjid Al-Azhar, untuk mengenalkan pilar-pilarnya, seni
arsitektur dan landmark bersejarah, setelah proses renovasi dan pengembangan
komprehensif disaksikan oleh semua orang.
Syekh Abdullah bin Zayed, Menteri Luar Negeri UEA
juga mengunjungi Al-Azhar untuk menyampaikan undangan resmi dari yang mulia
Syekh Mohammed bin Zayed, Putra Mahkota Abu Dhabi kepada Syekh Besar Al-Azhar
untuk mengunjungi UEA dan menghadiri konferensi dunia berjudul "Dialog
Pemimpin Agama untuk Persaudaraan Manusia" yang akan dipandu oleh Uni
Emirat Arab dan dihadiri oleh Grand Syekh, Paus Francis, Paus Gereja Katolik,
dan sejumlah besar pemimpin agama dan simbol agama di seluruh dunia.
Beliau juga menerima Penasihat Adly Mansour, mantan
Presiden Republik dan mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Agung, yang
menyatakan penghargaan atas peran yang dimainkan oleh Al-Azhar dalam
melestarikan moderasi Islam dan perdamaian serta keamanan masyarakat di Mesir
dan dunia Islam. Para cendekiawannya, yang tumbuh untuk menerima perbedaan,
membentuk tembok pertama perlawanan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran
radikal.
Mantan presiden Mesir itu juga menekankan bahwa
Imam Al-Tayyib telah mengembalikan kepemimpinan Al-Azhar Al-Sharif dan
kedudukan internasionalnya, dan melakukan upaya besar di tingkat global untuk
mencapai perdamaian di dunia juga memuji peran kebajikan nasionalnya dalam
menghadapi terorisme dan menangkal klaim kelompok-kelompok ekstremis.
Source: mobtada.com
Komentar
Posting Komentar