Selera Musik mas Hums dan hubungan antara Musik dengan Emosi

Foto di KBRI oleh mas Humam, Anggota KPP Maba 2018.


 ‘Bro lihat, coba dengerin musik apa yang sedang mas itu putar? Pasti beliau sedang sedih. Dengar saja  musik yang sedang ia putar’

Begitu kira-kira kawan-kawan di rumah secara sepontan pada suatu pagi.

Rabu, 05 Desember lalu saya ditugaskan KPP Maba (Komite Pengurusan Pendaftaran Mahasiswa Baru) untuk mengurus berkas 1893 calon mahasiswa baru universitas Al-Azhar di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sebelum berkas-berkas itu diserahkan secara sempurna ke bagian pendaftaran mahasiswa baru universitas Al-Azhar atau bahasa Arab-nya ‘Tansiq’ TP. 2018-2019.

Sebut saja mas Humam atau mas Hums panggilan kawan-kawan sesama anggota KPP Maba tahun ini yang beranggotakan 20 orang dengan tugas mengurus berkas yang disyaratkan  seperti ijazah persamaan dari Kemenag RI, terjemah paspor, akte sampai dengan surat permohonan masuk universitas Al-Azhar. 20 anggota ini ditantang untuk menyelesaikan proses pemberkasan selama satu setengah bulan yang biasanya selesai dalam tiga bulan. ‘Siang jadi malam dan sebaliknya jadi tantangan buat kita,’ ungkap dua senior KPP Maba pada suatu kesempatan.

Sampai saat ini saya belum tahu nama lengkap dari mas-mas kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini. Pembawaannya yang santai membuat kawan-kawan di dekatnya merasa nyaman. Ketawaduan dan akhlak Jawanya jangan ditanya. Tidak heran ia ditempatkan sebagai 'Knight' (Kuda dalam permainan Catur) di KBRI. Menurut saya, kepatuhan dan senyuman mas Hums ini oleh para tim inti KPP dijadikan sebagai modal diplomasi supaya berkas yang kami urus cepet selesai. :D

Siang itu, saya ditugaskan menemani mas Hums ke KBRI menggantikan bang Zulfahmi Saputra, asal Aceh yang biasanya bertugas di Garden City dari jam 12 siang ampe jam 10 malam yang pada hari tersebut berhalangan.

‘Gua aneh sama sopir yang tadi, gua serius dia bercanda, dan gua bercanda dia serius, kan gua jadi bingung,’ imbuh mas Hums mengomentari bapak-bapak sopir Uber yang kami tumpangi siang itu. Saat itu ia duduk di kursi depan. ‘Gak asyik lagi, masa ditanya-tanya tentang musik yang gak popular di zaman kita, mana gua tau, gua jawab takut salah dan kalau gak dijawab dia rese,’ lanjutnya.

‘Ahaaa sabar, mas. Emang kalo bapak-bapak kan suka musik yang popular di zaman dia muda’ saya menimpali. ‘Tapi kemarin tuh saya naik Uber, orangnya tua sama, umur 25 ke atas (hmmm hmmm bingung saya), dia gaul selera musiknya sama kaya kita anak muda banget,’ mas Hums menimpali kesimpulan yang saya coba ajukan. ‘Hmmm hmmm hmmm.’ Saya jadi ikut nyanyi Nisa Sabyan dalam hati.

Terus terang, saya dalam hal selera musik bisa digolongkan sebagai orang yang taklid. Artinya asal itu musik dan enak didengar ya saya ikut saja menikmatinya. Bagi saya musik adalah kesatuan harmoni antar nada yang dihasilkan dari intstrumen-instrumennya. Tidak masalah apakah genre musik tersebut pop, reggae, jaz dan lain-lain. Baik modern atau tradisional. Asal enak, mesti saya dengerin. Meski dalam beberapa kondisi saya kadang merasa jengah dengan suara musik meski indah didengar. Seperti dalam kondisi mau tidur banget atau kondisi-kondisi saya merasa tidak nyaman. Wah penikmat musik karbitan ini!? :D

Keadaan ini terjadi di hari yang sama saat kami memasuki ruang tugas bapak-bapak KBRI. Saat mulai pegang pulpen dan nyoret-nyoret kertas yang jumlah perbundelnya 100 berkas Maba dengan masing 5 kertas itu saya gak khusu, kehilangan fokus. Di saat yang sama entah bapak-bapak yang mana, ada yang sedang dengerin lagu Via Vallen yang saya lupa apa judul lagunya. Yang jelas lagu tersebut enak kedengaran di telinga dan enak didenger saat santai.

Sepuluh menit waktu itu berlalu sejak saya pegang pulpen dan bapak-bapak KBRI sedang pada di luar ruangan. ‘Mas ko saya jadi mellow gini ya denger lagu ini, saya jadi gemeteran, semacam dalam keadaan apa ya mas…,’ saya curhat ke mas Hums. ‘Beliau itu Vianisti,’kata mas Hums. ‘Hmmm, maksud saya ini saya harus gimana mas, lagi ga khusu mas,’ dalam hati. Dan sepertinya mas Hums tau siapa yang muter lagu pedangdut yang tersohor gegara lagu berjudul ‘Sayang’ itu. Karena ketidakkhusyuan tersebut beberapa berkas ada yang salah dalam penomoran dan saya mulai merasa aneh. Kemudian dalam interval beberapa menit saya ulangi kesalahan yang sama meski waktu itu saya dalam kedaan sadar. Mohon maaf ya kawan-kawan mahasiswa baru. :D

Akhirnya saya bertanya-tanya, seberapa jauh dampak yang ditimbulkan dari alunan musik kepada laku-lampah manusia?

Kebetulan satu dari kawan rumah saya di Rumah Masa Depan (RMD) Darrasah, Kairo pernah ngomong tentang musik dan keterkaitannya dengan psikologi manusia. Akhirnya berkat bantuan Google pertanyaan sederhana saya itu pun terjawab.

Musik adalah melodi yang syairnya berupa alam semesta. Ungkap Shcopenhauer, filsuf asal Jerman dalam mendefinisikan musik menurut pandangan subjektif sebagai penikmat dan objektifnya. Tidaklah berlebihan saya kira apa yang doktor lulusan di Universitas Jena 1813 ini definisikan melihat aliran filsafat yang ia bawa yakni memandang bahwa dunia adalah ide dan kehendak. Karena kesemestaannya ini dengan mudah musik bisa cepat akrab dengan manusia yang juga bagian dari alam semesta. Di saat yang sama antara musik-ide berada pada ruang yang sama yang saling melengkapi dan memiliki pengaruh kepada kehendak seseorang. 

Attali, 2009:28 mengatakan, Aristoteles pesohor filsafat pernah mengatakan bahwa musik terbagi ke dalam tiga fungsi: ‘ethical’, semacam kegunaannya untuk edukasi, ‘of action’ dapat menjadi pengaruh bahkan untuk orang yang tak mampu memainkan musik, dan ‘cathartic’ memiliki tujuan pelepas kecemasan/kemarahan dan membuat tenang. 

Pada fungsi ‘of action’ dan ‘cathartic’ nampaknya musik punya implikasi pada emosi manusia.


Kairo, 11 Desember 2018.

Komentar