Antara Sabar atau Lemah, Pengalaman Dimarahin Penjual Buku
![]() |
Panjimas.com |
Kita harus legowo sejak saat kita mengatakan legowo.
Setelah melihat musalsal atau series film imam Syafi’i di kanal You Tube saya mulai akan menyegarkan kembali kemampuan saya dalam menalar produk ijtihad dari madzhab Syafi’iah sebagai madzhab fikih yang saya anut.
Saya pernah membeli buku karangan Dr. Ahmad Nabawi, pengajar di masjid Al-Azhar. Beliau menulis buku yang berisikan seputar daftar rekomendasi kitab-kitab untuk dibaca secara gradual. Artinya berjenjang atau perlevel. Level ini sesuai dengan sejauh mana kemampuan kita dalam memahami kitab dari masing-masing disiplin atau cabang ilmu. Ada mubtadi untuk level dasar, muatassith untuk menengah dan untuk level selanjuntnya, muntahi. Masing-masing level memeliki daftar buku-buku yang disarankan pengarang hasil dari pengalamannya belajar di Al-Azhar.
Buku ini diberi judul oleh pengarangnya dengan nama Manhajiyyatu At-Ta’lim atau metode belajar ilmu-ilmu Syariah. Keunggulan buku ini pembaca selain dibantu dalam mencari nama-nama kitab-kitab di level tertentu, pembaca juga disuguhi nama percetakannya. Konon ada beberapa buku berikut beberapa toko buku yang tidak direkomendasikan oleh para guru Al-Azhar sebab typo yang berulang sampai kepada tahrif atau pengaburan teks kepada makna asalnya. Buku setebal 75 halaman ini tidak hanya berisi rekomendasi, berisikan juga motivasi, adab sampai cara belajar yang baik.
Dengan bantuan buku inilah malam Rabu kemarin (30/04) saya menuliskan daftar buku-buku fikih yang harus saya beli di level dasar untuk kemudian saya baca seusai ujian semester genap di kampus nanti. Dua bulan mendatang. Ada beberapa buku yang sudah saya punya seperti matan Al-Ghaayah wa At-Taqriib, Al-Fikh Al-Manhaji dan Haasyiyah Al-Baajuri dengan komentar Ibnu Qaasim. Sementara untuk syarah As-Sittiin Al-Mas’alah, Al-Mukhtashar Al-Latiif, dua karangan Imam Ramli berikut Al-Yaaqut An-Nafiis karya Ahmad bin Umar As-Syaatiri belum saya miliki.
Saya menyangka, kayaknya ini bukan semangat yang kemudian ketika saya merealisasikannya akan istikamah. Tidak lain tidak bukan ini bagian dari siklus gangguan saat menjelang ujian. Saya merasa PD baca buku apapun ko rasa-rasanya enteng dan mudah dipahami. Tidak mau kehilangan momen dan saya berdoa semoga istikamah maka saya putuskan untuk menuliskannya di buku notes. Melihat footnote di sub judul seputar buku-buku fikih Syafi’iah tersebut membuat saya melirik. Tertulis, ‘Sebelum masuk pada level ini sebaiknya Anda membaca terlebih dahulu buku Al-Fikh Al-Muyassar atau Jalan Mudah Memahami Fikih karya syekh Ahmad Isa Aasyur.’
Sejurus kemudian saya berniat untuk mencari kitab fikih yang disarankan Dr. Nabawi ini. Kebetulan saya akan ujian fikih perbandingan di bidang fikih muamalah. Saya lumayan kesulitan untuk membandingkan empat madzhab fikih; Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah. Mau gak mau saya harus bisa menguasai dasar-dasarnya terlebih dahulu dari madzhab yang saya anut. Maka saya putuskan untuk mencarinya di toko buku belakang masjid Al-Azhar.
Tibalah saya ke toko buku dengan nama Maktabah Sunnah. Saya kadang membeli buku di sini selain harganya relatif sesuai keadaan kantong, cover yang lumayan bagus menjadi value tersendiri bagi saya. Mula-mula sebelum saya memutuskan membeli buku tertentu pasti saya lihat siapa penulisnya terlebih dahulu atau pentahkiknya. Kemudian berikhtiar untuk menawar.
Namun pencarian buku tersebut menyisakan konflik batin. Antara saya sabar atau lemah. Konflik itu terjadi saat saya bertanya tentang kitab karangan Ahmad Isa Aasyur di saat yang bersamaan saya membawa buku karangan Dr. Ahmad Nabawi ini.
Bakda Ashar hari ini, Sabtu, 04 Mei 2019 sepertinya akan menjadi sejarah bagi saya saat saya memilih untuk diam kepada oknum penjaga toko buku yang jelas-jelas menuduh bangsa saya sebagai penyebab kenapa Islam tidak maju-maju. Sebabnya remeh. Karena buku-buku cetakan dari toko buku ini tidak memiliki porsi idaman di buku rekomendasi yang Dr. Nabawi tuliskan sehingga buku-buku di toko ini minim pembeli. Atau buku dengan gendre dan muatan yang hampir sama sebut saja karya Musthafa Ridha dengan judul bukunya At-Turuq Al-Manhajiyyah.
Karena sifat bangsa Indonesia itu penurut. Pelajar Indonesia yang studi di Al-Azhar inilah yang mula-mula menyambut baik tawaran dari dua ulama muda ini. Kemudian pelajar-pelajar dari negara tetangga pada ikut. Dua nama pengarang ini pun menjadi sasaran penjual toko buku ini untuk mengatakan kata-kata yang tidak terpuji. Lebih-lebih kepada sosok syekh Ali Jum’ah yang lebih dahulu vokal menyerukan untuk hati-hati dalam membeli buku di toko-toko buku tertentu. Hingga hari ini, kalau ada mahasiswa yang sembarangan membeli kitab pasti akan diingatkan oleh seniornya.
Awalnya saya mau bilang fakta carut-marutnya negara Arab karena orang-orangnya yang masing-masing saling membesarkan kepala. Supaya mereka berkaca terlebih dahulu. Kosa-kata kasar yang saya dengar dari orang Mesir sendiri dan dari film sebenarnya saya punya. Barangkali akan membuat saya lumayan leluasa dan puas ngata-ngatain. Namun sepertinya akan sia-sia. Tujuan saya bukan untuk itu. Saya sedang mencari buku untuk saya pahami. Kemudian saya sampaikan, “Saya baca buku-buku yang direkomendasikan ulama Al-Azhar karena saya belajar di sini. Saya juga baca buku-buku karangan ulama Suuri dan Su’uudi.” Penjual buku ini diam. Akhirnya saya mengerti. Penjual ini mengira saya pembeli buku atas dasar rekomendasi saja. Kayaknya di negeri ini saja deh penjual semaunya dan acapkali marah-marah kepada pembeli.
Kemudian saya test dengan coba memujinya. Saya kira dia akan membalas dengan meminta maaf. Sepertinya dia tidak memahami sarkas. Ternyata malah ketawa bangga. “Allah SWT telah menurunkan Alquran kepada bangsa Arab. Semua bangsa Arab baik.” Meski demikian saya tidak mau bangsa saya dianggap apa-apa karena ulah saya. Sebelum pergi saya salami penjaga toko buku ini. Setelah saya mencari di dua toko buku Daar Al-Lu’lu dan Daar As-Salaam. Saya temukan buku yang saya cari di toko Mujallad Arabi. Moga husnuzan saya gak luntur kepada para penjual buku-buku keislaman. Saya masih menganggap mereka itu ibadah bukan sekedar jualan.
Baru kemarin saya menulis ini di buku notes, “Pesan-pesan atau untaian kalam ilahi, hadits, atau hikmah dari para ulama itu bukan hanya untuk dihapal kemudian disampaikan untuk dijadikan bahan ceramah atau taushiah semata. Sudah seharusnya apa yang kita sampaikan adalah apa yang kita amalkan terlebih dahulu”. Rupa-rupanya tulisan ini menguji saya. Sudahkan saya sabar sebagaimana saya sampaikan untuk sabar kepada orang lain? Nyata-nyatanya sulit. Kita harus legowo sejak saat kita mengatakan untuk legowo.
Komentar
Posting Komentar